Sabtu, 30 Juli 2011

Nuklir Sebagai Tools of Bargaining Position Korut

Sebuah negara akan memiliki bargaining position yang kuat dalam meja diplomasi jika negara tersebut memiliki strong economic ataupun strong military defense[1].Idealnya memang memiliki keduanya namun paling tidak memiliki satu diantara keduanya bisa menjadi sebuah alat tawar negara dalam meja perundingan. Dalam hal ini, Korut cenderung dan secara absolut menggunakan its strong military defense-nya yaitu dalam bentuk pengembangan senjatra nuklir sebagai senjata dalam proses tawar menawar.
Ketika Korea Utara sukses melakukan uji coba nuklir pada 8 Oktober 2002, dunia sempat dikejutkan dengan kemampuan negara yang terisolasi dan bahkan tidak mampu memberi makan rakyatnya sendiri ini. Pertunjukan nuklir Korea Utara yang programnya telah menelan keuangan negara habis-habisan muncul sebagai manifestasi dua doktrin yang menuntun tindakan para perwira militer dan menentukan postur politik Korea Utara sejak akhir 1990-an[2]. Dua doktrin ini adalah :
  1. Kangsong Taeguk, yang berarti pemikiran mengenai pentingnya membangun negara yang kuat dan sejahtera; dan
  2. Congun Chongchi atau keutamaan militer. 
Betapa pun kerugian yang dialami Korea Utara ketika secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai negara bersenjata nuklir, ada strategi yang logis dibalik deklarasi Korea Utara sebagai negara berkekuatan senjata nuklir.  Korea Utara percaya tindakan ini akan memberikan keuntungan strategis, simbolis, dan teknologi yang dibutuhkan dalam jangka panjang untuk mewujudkan Korea Utara yang kuat dan makmur[3]. Sesuai dengan definisi strategi nuklir sebagai pemanfaatan senjata nuklir untuk meraih kepentingan politik internasional, nuklir bagi Korea Utara dapat menjadi alat penting dalam perundingan internasional.
Keberhasilan kekuatan nuklir Korut sebagai penguat daya tawar negara tampak pada kejadian-kejadian sebagai berikut :
  1. Pertemuan di Beijing tanggal 27-29 Agustus 2003 antara China, Korut, Jepang, Korea Selatan (Korsel), AS, dan Rusia telah berhasil menekan Bush untuk memberi jaminan keamanan tertulis dalam bentuk tertentu kepada pihak Korut, dengan syarat Korea Utara juga berpendirian luwes dan bersikap menahan diri.
  2. Pada tahun 2005 Korut berhasil menekan IAEA untuk tidak membekukan rekening sejumlah 25 juta dollar AS yang sempat dibekukan di Macau dan sebagai imbalannya Korea Utara akan mendapatkan bantuan energi dan konsesi diplomatik. Korea Selatan sendiri menjanjikan bantuan awal bahan bakar 50 ribu ton
Posisi adalah sesuatu yang terlihat jelas. Korea Utara dengan serius menunjukkan hasrat kepemilikan teknologi senjata nuklir.  Namun kepentingan di balik itu adalah untuk mencari pengakuan dan kekuatan melalui ancaman dalam perundingan.  Tujuannya tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan Korea Utara akan energi, finansial, dan juga insentif ekonomi.
Pembangunan nuklir Korut ditujukan untuk memperkuat posisi tawar menawar dalam perundingan internasional[4]. Melalui pengembangan program nuklirnya, Korea Utara berupaya untuk menciptakan perimbangan kekuatan dengan Amerika, dan dengan itu, negara tersebut bisa memaksa Amerika untuk duduk di meja perundingan. Korut menggunakan nuklirnya sebagai kartu AS dalam berdiplomasi. Korut tahu betul bagaimana memanfaatkan kemampuan nuklirnya untuk berdiplomasi. Dengan nuklir Korut bisa dengan mudah menggaet bantuan, mulai beras sampai bahan bakar. Jadi, berbagai sanksi dan resolusi PBB pun tak begitu berdampak bagi mereka. Dengan nuklir pula, negeri yang secara teknis masih berada dalam status perang dengan Korsel itu mampu mengerek daya tawarnya saat bernegosiasi dengan musuh-musuhnya.
Selama tiga tahun terakhir, Korut tercatat dua kali melakukan uji bom nuklir dan sejumlah tes misil[5]. Korut akan terus menguji coba senjata nuklirnya hingga menguasai teknologi untuk menempatkan hulu ledak pada misilnya. Teknologi itu akan menguatkan kekuasaan Kim Jong-un, calon suksesor Kim Jong-il, saat berkuasa nanti. Obama pun pernah berwacana bahwa akan memberikan perhatian lebih pada informasi intelijen Jepang yang menyatakan adanya kemungkinan Korut meluncurkan rudal jarak jauhnya Taepodong-2 tepat pada peringatan Hari Kemerdekaan AS. Ini menunjukan bahwa bargaining positionKorut tidak bisa dipandang sepele di matas AS. Sejak dulu memang Korut memang ingin bernegosiasi langsung dengan Negeri Paman Sam, tanpa melalui perantaraan negara atau badan apapun. Mereka belajar dari pengalaman Tiongkok yang menggunakan ancaman nuklir untuk memaksa AS di era Presiden Richard Nixon untuk mengkaji ulang hubungan kedua negara
Dalam hal ini terlihat bahwa sebuah negara yang hanya negara miskin dan tidak memiliki pengaruh dalam sebuah kawasan maupun pada politik internasional dapat memiliki bargaining power yang cukup kuat ketika negara tersebut memiliki sebuahdeterens, yang dalam hal ini adalah senjata nuklir tersebut. Pengembangan senjata nuklir oleh sebuah negara memang merupakan hak dari negara tersebut, namun ketika terbentur dengan norma internasional itu adalah merupakan pilihan apakah akan meneruskan dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya seperti yang dialami oleh Iran dan Korea Utara dalam bentuk embargo ekonomi dan pengucilan secara politis. Namun Iran maupun Korea Utara menyadari bahwa mereka akan mempunyai bargaining power yang cukup kuat ketika berhasil mengembangkan senjata nuklir tersebut walaupun dengan mengorbankan kesejahteraan dari warga negaranya seperti yang dialami Korea Utara.


[1] DR. Yudhi Chrisnadi, ME, Anggota Komisi I DPR RI, disampaikan dalam Seminar Internasional pada Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional Ke-22 di Universitas Nasional Jakarta, 21 November 2010
[2] International Risk, “North Korea’s Nuclear Test: The Logic Behind the Leadership’s Action and Likely Future Development”, 12 Oktober 2006
[3] John Newhouse, “Bring North Korea in from the Cold”, The Financial Times, 18 Oktober 2002
[4] Ibid
[5] http://www.bogor.net/index.php?option=com_content&view=article&id=1145&Itemid=75, diakses pada 01 Desember 2010

Jumat, 22 Juli 2011

Analisis Kasus SBY pada Media Australia


              Indonesia akhir-akhir ini diresahkan oleh permasalahan yang datangnya dari luar 
negeri yaitu menyeruaknya berita yang merusak nama baik yang mengarah kepada  presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono oleh dua media asal Australia yaitu The Age dengan judul Abuse Power of Yudhoyono dan dalam media Herald Morning Corruption menulis Allegations again Yudhoyono bersumber dari Wikileaks (Organisasi internasional yang bermarkas di Swedia yang menerbitkan dokumen-dokumen rahasia dengan tetap menjaga kerahasiaan narasumbernya) yang intinya bahwa Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dianggap telah menyalahgunakan kekuasaan dengan membela kelompok koruptor di Indonesia bahkan telah memata-matai saingan politiknya.
            Ini bukan tindakan kali pertama yang dilakukan organisaasi Wikileaks yang mengejutkan dunia bahkan organisasi ini sempat membocorkan kawat diplomastik AS, serta membongkar dokumen perang antara Irak dan Aganistan.
            Perlu adanya pertemuan antara Wikileaks dan selaku juru bicara SBY untuk meminta klarifikasi mengenai pemberitaan tersebut serta memperbaiki nama baik SBY kepada pihak Wikileaks agar pemberitaan tersebut tidak sampai ketelinga masyarakat Indonesia dan membentuk opini publik negatife mengenai presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono.
            Setelah pengklarifkasian dianggap telah sampai pada titik temu yang mampu membuktikan pemberitaan tersebut barulah pihak Indonesia boleh menuntut pihak Wikileaks apabila pemberitaan tersebut adalah tidak benar adanya dalam kenyataan dilapangan dan meminta pihak Wikileaks agar meralat berita yang telah dikeluarkannya serta meminta maaf langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena hal tersebut menyangkut perusakan nama baik.
            Ternyata apabila diamati secara dekat organisasi Wikileaks memberikan dua jenis peluang ibaratnya dua sisi mata uang yaitu adanya peluang yang positif maupun peluang yang negatif. Darimana kita bisa melihat kedua sisi peluang tersebut yaitu terletak pada aktor-aktor yang memiliki kepentingan politik didalamnya baik secara pemberitaan maupun yang nonpemberitaan.
            Peluang negatif tentu saja diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pemberitaan yang memiliki kontraversi dan memiliki kasus buruk sehingga mampu menyorot namanya dikalangan masyarakat umum sehingga membentuk opini publik yang negatif dan mampu menjungkirbalikan kursi kedudukan yang tengah dipegangnya hanya dalam hitungan beberapa waktu akibat peran dari si komunikator  ini (Wikileaks).
            Apabila fenomenal buruk tersebut benar-benar terjadi dalam dunia politik secara tidak langsung akan memberi peluang positif pula bagi partai-partai oposisi yang memang sedang menanti proses untuk menduduki jabatan yang diidam-idamkannya dan menggantikan aktor-aktor yang telah tergulingkan dari jabatnnya akibat kasus kotraversi.
            Ada manfaat yang tak terlihat bisa juga disebut manfaat yang laten dari kontraversi aktor didalam pemberitaan tersebut dimana sang aktor yang dikategorikan nyaris terjerat dalam kontroversi akan lebih mengintropeksi diri serta lebih meningkatkan kinerjanya dalam birokrasi politik guna mengharmoniskan nama baik dan mendapat kepercayaan dari masyarakatnya.
            Jadi kesimpulannya organisasi Wikileaks bisa menjadi peluang negatif bagi sgelintir orang yang menjadi korban kontraversi didalamnya dan bisa peluang positif dalam mengangkat nama aktor dalam pembicaraan yang hangat dimasyarakat atau peluang yang amat positif bagi segenlintir orang yang mengharapkan adanya pengosongan kursi panas dalam jabatan pemerintahan.


Analisis Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015


Sebagai salah satu dari tiga pilar utama ASEAN community 2015, ASEAN Economic Community yang dibentuk dengan misi menjadikan perekonomian di ASEAN menjadi lebih baik serta mampu bersaing dengan Negara-negara yang perekonomiannya lebih maju dibandingkan dengan kondisi Negara ASEAN saat ini. Selain itu juga dengan terwujudnya ASEAN Community yang dimana di dalamnya terdapat AEC, dapat menjadikan posisi ASEAN menjadi lebih strategis di kancah Internasional, kami mengharapkan dengan  dengan terwujudnya komunitas masyarakat ekonomi ASEAN ini dapat membuka mata semua pihak, sehingga terjadi suatu dialog antar sektor yang dimana nantinya juga saling melengkapi diantara para stakeholder sektor ekonomi di Negara-negara ASEAN ini sangat penting.  Misalnya untuk infrastruktur, jika kita berbicara tentang infrastruktur mungkin Indonesia masih sangat membutuhkan , baik itu berupa jalan raya, bandara, pelabuhan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini kita dapat memperoleh manfaat dari saling tukar pengalaman dengan anggota ASEAN lainnya.
Jika dilihat dari sisi demografi Sumber Daya Manusia-nya, Indonesia dalam menghadapi ASEAN Economic Community ini sebenarnya merupakan salah satu Negara yang produktif. Jika dilihat dari faktor usia, sebagian besar penduduk Indonesia atau sekitar 70% nya merupakan usia produktif. Jika kita lihat pada sisi ketenaga kerjaan kita memiliki 110 juta tenaga kerja (data BPS, tahun 2007) , namun apakah sekarang ini kita utilize dengan tenaga kerja kita yang berjumlah sekitar 110 juta itu.
Untuk itu kita harus mampu meningkatkan kepercayaan diri bahwa sebetulnya apabila kita memiliki kekuatan untuk bisa bangkit dan terus menjaga kesinambungan stabilitas ekonomi kita yang sejak awal pemerintahan Presiden Soesilo Bamabang Yudhoyono ini terus meningkat, angka kemiskinan dapat ditekan seminim mungkin, dan progres dalam bidang ekonomi lainnya pun mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Dengan hal tersebut banyak sekali yang bisa kita wujudkan terutama dengan merealisasikan ASEAN Community 2015 nanti. Menurut kami stabilitas ekonomi Indonesia yang kondusif ini merupakan sebuah opportunity dimana Indonesia akan menjadi sebuah kekuatan tersendiri, apalagi dengan sumber daya alam yang begitu besar, maka akan sangat tidak masuk akal apabila kita tidak bisa berbuat sesuatu dengan hal tersebut.
Melihat kondisi ekonomi Indonesia yang stabil dan mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun belakangan ini, Kami menyimpulkan bahwa mengenai Kesiapan Indonesia dalam menyongsong ASEAN Economic Community, bisa dikatakan siap, dapat dilihat dari keseriusan pemerintah dalam menangani berbagai masalah pada bidang ekonomi baik itu masalah dalam negeri ataupun luar negeri.
Selain itu, posisi Indonesia sebagai Chair dalam ASEAN pada tahun 2011 ini berdampak sangat baik untuk menyongsong terealisasinya Asean Economic Community. Dari dalam negeri sendiri Indonesia telah berusaha untuk mengurangi kesenjangan ekonomi Kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan daerah lalu mengurangi kesenjangan antara pengusaha besar dengan UKM dan peningkatan dalam beberapa sektor yang mungkin masih harus didorong untuk meningkatkan daya saing.
Berkaca pada salah satu statement ASEAN Community bahwa “Masyarakat ASEAN 2015 adalah Warga ASEAN yang cukup sandang pangan, cukup lapangan pekerjaan, pengangguran kecil tingkat kemiskinan berkurang melalui upaya penanggulangan kemiskinan yang kongkrit.” Pemerintah Indonesia sampai dengan pada saat ini terus berusaha untuk mewujudkan Masyarakat Indonesia itu sendiri Makmur dan berkecukupan sebelum memasuki AEC kelak.
ASEAN pada awalnya hanyalah sebuah organisasi regional yang bentuk kerjasamanya loose atau tidak longgar, namun dengan adanya ASEAN Charter maka Negara-negara ASEAN ini membentuk suatu masyarakat ASEAN yang mempunyai tiga pilar utama yaitu, ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community, ASEAN Socio-Cultural Community dengan tujuan terciptanya stabilitas, perdamaian dan kemakmuran bersama di kawasan. Pada awalnya ASEAN Community ini akan diwujudkan pada tahun 2020, namun di percepat menjadi tahun 2015 yang mana tinggal 5 tahun lagi.
ASEAN Economic Community (AEC) sebenarnya merupakan bentuk integrasi ekonomi yang sangat potensial di kawasan maupun dunia. Barang, jasa, modal dan investasi akan bergerak bebas di kawasan ini. Integrasi ekonomi regional memang suatu kecenderungan dan keharusan di era global saat ini. Hal ini menyiratkan aspek persaingan yang menyodorkan peluang sekaligus tantangan bagi semua negara. Skema AEC 2015 tentang ketenagakerjaan, misalnya, memberlakukan liberalisasi tenaga kerja profesional papan atas, seperti dokter, insinyur, akuntan dsb. Celakanya tenaga kerja kasar yang merupakan “kekuatan” Indonesia tidak termasuk dalam program liberalisasi ini. Justru tenaga kerja informal yang selama ini merupakan sumber devisa non-migas yang cukup potensional bagi Indonesia, cenderung dibatasi pergerakannya di era AEC 2015.
Ada tiga indikator untuk meraba posisi Indonesia dalam AEC 2015. Pertama, pangsa ekspor Indonesia ke negara-negara utama ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Pilipina) cukup besar yaitu 13.9% (2005) dari total ekspor. Dua indikator lainnya bisa menjadi penghambatyaitu menurut penilaian beberapa institusi keuangan internasional - daya saing ekonomi Indonesia jauh lebih rendah ketimbang Singapura, Malaysia dan Thailand; Percepatan investasi di Indonesia tertinggal bila dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Namun kekayaan sumber alam Indonesia yang tidak ada duanya di kawasan, merupakan local-advantage yang tetap menjadi daya tarik kuat, di samping jumlah penduduknya terbesar yang dapat menyediakan tenaga kerja murah.
Sisa krisis ekonomi 1998 yang belum juga hilang dari bumi pertiwi, masih berdampak rendahnya pertumbuhan investasi baru (khususnya arus Foreign Direct Investment) atau semakin merosotnya kepercayaan dunia usaha, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut karena buruknya infrastruktur ekonomi, instabilitas makro-ekonomi, ketidakpastian hukum dan kebijakan, ekonomi biaya tinggi dan lain-lain. Pemerintah tidak bisa menunda lagi untuk segera berbenah diri, jika tidak ingin menjadi sekedar pelengkap di AEC 2015. Keberhasilan tersebut harus didukung oleh komponen-komponen lain di dalam negeri. Masyarakat bisnis Indonesia diharapkan mengikuti gerak, irama kegiatan diplomasi dan memanfaatkan peluang yang sudah terbentuk ini. Diplomasi Indonesia tidak mungkin harus menunggu kesiapan di dalam negeri. Peluang yang sudah terbuka ini, kalau tidak segera dimanfaatkan, kita akan tertinggal, karena proses ini juga diikuti gerak negara lain dan hal itu terus bergulir. Kita harus segera berbenah diri untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia Indonesia yang kompetitif dan berkulitas global. Menuju tahun 2015 tidaklah lama, Sudah siapkah kita akan Tantangan dan peluang bagi kalangan profesional muda kita untuk tidak terbengong-bengong menyaksikan lalu-lalang tenaga asing di wilayah kita?.
Tantangan Indonesia kedepan adalah mewujudkan perubahan yang berarti bagi kehidupan keseharian masyarakatnya. Semoga seluruh masyarakat Indonesia kita ini bisa membantu untuk mewujudkan kehidupan ekonomi dan sosial yang layak agar kita bisa segera mewujudkan masyarakat ekonomi ASEAN.